Oleh : Bagus Satria Adi, S.Akun. (Staf Divisi Keuangan Lazismu Jawa Tengah)
LAZISMUJATENG.ORG, – SEMARANG – AR Fahrudin, tokoh besar Muhammadiyah asal Jogjakarta sekaligus Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1968 – 1990. 22 tahun merupakan waktu yang lama dalam sebuah kepimpinan di Muhammadiyah. Pak Abdur Rozaq Fahrudin atau sering dipanggil dengan sebutan Pak AR merupakan seorang pemimpin dengan kejujuran, kesederhanaan, dan keikhlasan dalam mengemban amanah, sehingga wajar jika warga Muhammadiyah sukarela dibawah kepemimpinan beliau.
Dalam penuturan Sukriyanto AR yang merupakan anak kandung dari Pak AR, setelah menyelesaikan pendidikan mubaligh di Tabligh School Muhammadiyah, Pak AR diminta memnemani H Dawam Rozi, Mubaligh dari Wonopeti, Kulon Progo untuk mengajar SD Muhammadiyah di Palembang, kemudian pada 1938 Pak AR dipindah ke Cabang Muhammadiyah Ulak Pecah (Kabupaten Muba, Musi Banyu Asin), pada tahun 1941, Pak AR pindah ke kantor Muhammadiyah Sungai Batang, di Sungai Gerong Palembang dan mengajar di HIS Hollandse Islandse School) Muhammadiyah. AR Fahrudin menikah pada 1938. Ketika itu Pak AR menyempatkan pulang ke Jogjakarta untuk menghadiri Muktamar Muhammadiyah, disela kepulangannya ke Yogyakarta, Pak AR dinikahkan dengan Siti Qomariyah yang merupakan putri dari kiai Abu Bakar, sepupu dari Ayahnya KH Fachrudin.
Pada akhir tahun 1949 terjadi clash dengan belanda, kemudian ketika clash berakhir tahun 1950, Pak AR pindah ke Yogyakarta dan bekerja sebagai Pegawai jawatan Agama Yogyakarta, di Kepatihan. Pak AR bertempat tinggal dekat dengan beberap ketua Muhammadiyah pada saat, sehingga seringkali kali beliau diutus untuk mengisi acara-acara sosial dan keagamaan di beberapa kota tetangga. Kemudian Pak AR diangkat menjadi Ketua Pimpinan Muhammadiyah Kota Yogyakarta pada tahun 1953 sekaligus diminta untuk menjadi Pembantu Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada Muktamar tahun 1968 di Yogyakarta, amanah jabatan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah datang kepada Pak AR tanpa diduga sebelumnya oleh beliau. Tetapi, atas usul Pak AR sendiri yang ditunjuk sebagai ketua PP Muhammadiyah dari 9 calon, diputuskan KH. Fakih Usman dari Gresik yang menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dengan alasan lebih tua dan lebih berpengalaman. Setelah Muktamar tersebut, 9 Nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut melakukan Rapat di Jakarta, kecuali KH Fakih Usman yang terbaring sakit dirumahnya. KH Fakih Usman mengirimkan Surat yang berisi bahwasanya dirinya akan berobat ke Belanda atas biaya Mentri Sosial, sehingga mempercayakan AR Fakhrudin dan HM Jindar Tamimi untuk memimpinan Muhammadiyah sehari-hari di Kantor Yogyakarta, dan untuk Kantor Jakarta dipercayakan kepada Prof Dr H Rosyidi dan Prof Dr Hamka. Hingga tiba-tiba ketika masih berlangsung rapat, ada telfon dari jalan Sabang Rumah KH Fakih Usman yang memberitahukan bahwa KH Fasih Usman telah wafat. Sehingga pada tahun 1968, Pak AR menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah menggantikan KH Fakih Usman atas dasar amanah Buya Ar Sutan Mansur yang merupakan Penasihat PP Muhammadiyah dan persetujuan ketujuh PP Muhammadiyah.
Dalam kepempinannya, Pak AR merasa bahwa dia telah mengemban amanah yang sangat besar, , pertanggungjawabannya kepada Allah lebih dari Muhammadiyah. Namun, Pak AR tidaklah sendiri, dalam memutuskan berbagai hal pasti selalu dikonsultasikan bersama para pimpinan Muhammadiyah yang lain. Menurut penuturan KH Hisyam Syafii yang merupakan sahabat dari Pak AR, dalam kepemimpinannya Pak AR tidak pernah mencela atau mengejek orang lain, Pak AR selalu berbaik sangka terhadap setiap orang. Selain itu, sebagai seorang desa, Pak AR mempunyai karakter santun, terlihat ketika Pak AR menjadi Pamong di Desanya. Pak AR tidak ingin diperlakukan secara istimewa oleh jama’ahnya, ketika mengisi suatu acara di sebuah wilayah Pak AR tidak mau menginap di Hotel yang disediakan Panitia, ia lebih memilih menginap di Rumah teman kerabatnya yang dengan dengan wilayah tersebut.
Menurut Ahmad Syafii Ma’arif (Mantan Ketua PP Muhammadiyah), Pak AR adalah tipe pemimpin Muhammadiyah, yang tidak suka Muhammadiyah dibawa ke ranah politik praktis. Walapun didalam dunia politik, Pak AR sempat menjadi anggota DPRD DIY tahun 1955 sebagai ketua fraksi Masyumi, namun Pak AR tidak menonjol sebagai seorang politisi, melainkan lebih sebagai kyai daripada politisi.