Dalam Pedoman Lazismu yang masih berlaku, keberadaan Eksekutif boleh ada boleh tidak. Otoritas sepenuhnya ada dalam Badan Pengurus masing-masing jenjang. Pola ini relatif aman di masa awal. Namun, ketika Eksekutif saat ini telah menjadi budaya kerja Lazismu, keamanan tersebut musti dipertanyakan.
Banyak Daerah yang Eksekutifnya mulai eksis, terkadang tidak berbanding lurus dengan kondisi BP-nya. Ini tentu menjadi mengkhawatirkan. Karena Eksekutif sebagai pelaksana kemudian bisa merangkap sebagai penentu kebijakan ketika BP tidak aktif. Sama saja hal ini memberikan cek kosong pada Eksekutif.
Namun hal tersebut bukan berarti malah melahirkan sikap ketakutan yang kemudian tidak mengangkat Eksekutif sama sekali. Itu jelas sikap yang kontraproduktif. Karena ketika peluang yang saat ini terbuka lebar, dengan bonus legacy tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Persyarikatan terkait keuangan begitu besar, menjadi rugi besar bila Lazismu selalu diurus oleh mereka yang kerjanya part time atau sambilan.
Maka perlu dipikirkan perubahan nomenklatur yang selalu menjaga aras kekhasan Muhammadiyah disamping langkah-langkah inovatif yang berbasis manajemen resiko. Menurut saya ada tiga prasyarat perubahan Pedoman Lazismu, yakni: – Adanya landasan teori ilmiah yang relevan. – Adanya best practice yang layak dicontoh dan dimodifikasi. – Adanya inovasi yang dituju sekaligus kekayaan lokal yang ingin dipertahankan.
Prasyarat tersebut untuk menjamin supaya perubahan tidak sekedar hasil imajinasi masing-masing anggota tim perubahan. Tetapi juga benar-benar memenuhi sufficient reason sebagai legacy pedoman yang layak dan dapat diandalkan.