Oleh : Agus Alwi Mashuri, S.Sos, M.Kom (Manajer Fundraising Lazismu Jawa Tengah)
Lazismujateng.org, Semarang – “Assalamualaikum…… warahmatullohi…. Wabarakaatuh”. Salam pembuka… ya.. hanya salam pembuka.. suara yang tidak begitu keras… bahkan cenderung berat itu serasa menggelegar… memecah kesunyian.. masuk menggema di ratusan pasang telinga jamaah kajian. Salam yang keluar dari laki-laki bertubuh gempal, bermuka bulat, dihiasi kacamata dan berpeci sedikit miring kekanan, teduh berwibawa, tetap tampak begitu sederhana dan santun, namun tetap bersahaja itulah yang ditunggu jamaah, yang kemudian terjawab dengan koor salam yang penuh semangat dari jamaah kajian.
Usiaku belum genap 12 tahun, ketika Bapakku mengajak bertemu dan mengikuti langsung kajiannya. Dialah Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin, sosok yang akrab di panggil Pak AR, yang banyak orang kenal sebagai Ketua Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui TVRI Jogjakarta, umat, termasuk didalamnya aku, mengenal pak AR adalah penyejuk. Umat selalu mengatakan bahwa kelebihan Pak AR adalah kesejukan dalam menyampaikan dakwah. Gaya kepemimpinan Pak AR yang terasa adalah kesejukan, memberi contoh hidup welas asih dalam ber-Muhammadiyah.
Bukan tanpa alasan jika Bapakku mengaguminya, ‘Le.. Pak AR ini orang yang luar biasa, banyak orang kagum padanya karena sikap hidup beliau yang tawadhu’, teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan bersahaja, penyebar rasa kasih sayang dalam kehidupan. Isi kajiannya bernas, tidak menebar sikap dan suasana saling membenci, curiga, iri hati, saling ingin menafikan, apalagi suka menebar aib sesama dalam kehidupan ber-Muhammadiyah” begitu sering ku dengar bila Bapakku sedang berbicara tentang pak AR
Like Father Like Son
Dalam salah satu ceramah yang pernah dikutip oleh Mitsuo Nakamura (1983), Pak AR mengatakan, “Bahwa kita dapat berdoa lima kali sehari dengan teratur, namun jika akhlak kita tetap buruk, tetap rakus, kikir, tidak mau memperhatikan yang miskin dan susah, maka doa kita tidak akan diterima oleh Allah, tidak akan masuk surga, namun masuk neraka. Kita dapat menyelesaikan puasa, namun jika kita tetap membicarakan keburukan orang lain, berdusta, menipu, sombong, maka puasa kita tidak berguna dan tidak diakui oleh Allah. Marilah kita berdoa, berpuasa, berhaji, membayar zakat, dan di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak kita,”
Bagi orang lain mungkin biasa-biasa saja, tapi tidak bagi kami yang berinteraksi langsung dengan salah satu putra beliau.. Mas dokter Fauzi AR. Atas ajakan beberapa mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM yang sedang melaksanakan KKN di desa kami, maka diselenggarakan kajian dengan pembicara dari Jogjakarta, dan ternyata adalah Mas dokter Fauzi, begitu kami menyapa. Dan disela-sela transit di rumah kami, atas pertanyaan bertubi-tubi dari Bapak, Mas dokter banyak bercerita tentang Pak AR.
Bagi Mas dokter Fauzi, salah satu kelebihan pak AR adalah gairah akan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut. Masa kecil pak AR dihabiskan untuk belajar kepada Ayahandanya, yang kemudian berlanjut belajar dari Kyai satu ke Kyai yang lain, kemudian pak AR dikenal sebagai santri yang istikamah (konsisten) dalam belajar, meneguk lautan ilmu dan bahkan kitab-kitab yang dikunyahnya meliputi kitab fikih, hadis, tasawuf, dan lain sebagainya. AR remaja berbicara hanya bila perlu dan lebih banyak berkarya nyata, sangat menjaga etika dan sopan santun dan berusaha menjalankan ilmu yang telah diperolehnya dari gurunya. Hari-hari Pak AR diwarnai dengan aktivitas bermanfaat buat umat, mengayomi masyarakat, menjadi panutan/teladan dalam segala aspek.
“Kami diajari bapak untuk selalu menolonng orang lain”
Dari kajian inilah kemudian kami melihat betapa membuminya ajaran Kyai AR, yang tertanam kuat di sanubari dan perilaku putranya yang berinteraksi langsung dengan kami. Ini dibuktikan dengan karya nyata dari Mas Fauzi AR untuk membentuk “Kelompok Terpanggil”, yang misinya adalah membentengi masyarakat sekitar kampung kami yang rawan pemurtadan dengan menggalang dan menyalurkan beasiswa untuk pelajar dan aktif menyelenggarakan kegiatan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Sikap inilah yang kemudian menjadi teladan kami sekeluarga untuk merintis pergerakan Muhammadiyah di satu desa terpencil, di sekitar Muntilan. Ajaran memurnikan aqidah yang menguatkan kami untuk bertekat memiliki dan mendirikan AUM sehingga sejak tahun 80 berbekal tanah wakaf dari Mbah Kakung didirikan TK ABA dan berkegiatan ala Muhammadiyah, dari sejak Tarawih hingga kajian-kajian dan cara-cara baribadah yang lain. Meski saat itu belum terbersit untuk mendirikan lembaga secara resmi sebagai Ranting Muhammadiyah, hingga resmi kaluarga besar kami mendirikan Ranting Muhammadiyah tahun 2019 lalu.